Resensi Novel Layar Terkembang
IDENTITAS
BUKU
Judul buku : Layar Terkembang
Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana
Desain buku : tim desain puri
margasar
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan Pertama -
1936
Cetakan ketiga puluh Sembilan - 2009
ISBN : 979-407-065-3
Jumlah Halaman : 200 Halaman
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera
Utara, 11 Februari 1908 – meninggal
di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), merupakan
tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia. Setelah menamatkan
sekolah HIS di Bengkulu (1915-1921), STA melanjutkan pendidikannya ke
Kweekschool, Bukittinggi yang kemudian meneruskan ke Hogere Kweekschool
di Bandung (1921-1925), menjalani pendidikan dan menerima pendidikan
di Fakultas Sastra di Rechtschogeschool di Jakarta (1937-1942), dan memperoleh
gelar Dr. Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas
Indonesia (1979) dan untuk Ilmu Sastra dari Universitas Sains
Malaysia, Penang, Malaysia (1987).
SINOPSIS
Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatera Selatan. Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi Yusuf, pertemanan itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis. Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Pada masa
liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia
bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya,
namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam
keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin
diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan
perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung.
Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian
menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun
segera meninggalkan Martapura. Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh
Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan
berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf
menyatakan cintanya kepada Maria. Sementara hari-hari Maria penuh dengan
kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya
dengan membaca buku. Sesungguhnya pikiran Tuti tidak ingin keinginannya untuk
merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki
itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria menghembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang terakhir, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria menghembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang terakhir, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
Unsur Intrinsik Novel
a. Tema : Perjuangan wanita
b. Latar / setting
1. Gedung akuarium di pasar ikan
2. Rumah Wiriatmaja
3. Martapura, Kalimantan Selatan
4. Rumah Sakit Pacet
5. Rumah Partadiharja
6. Gedung permufakatan
c. Alur : Maju
d. Sudut pandang : Orang ketiga
Unsur Ekstrinsik :
Mengajarkan kepada kita untuk saling
menghargai dan peduli terhadap sesama manusia dan terhadap alam. Juga
mengajarkan tentang pentingnya pendidikan bagi kita. Karena untuk mencapai
tujuan, kita harus memiliki ilmu pengetahuan agar tidak tertinggal dengan orang
lain dan mampu bersaing di masyarakat.
Tema yang
dibawakan novel ini adalah tentang wanita dengan lika-liku hidupnya. Tuti
seorang yang berwibawa, pandai, berpendirian teguh, tegas, teliti, berpikir
rasional. Sedangkan adik Tuti, Maria berwatak mudah kagum, ekspresif, tegar,
berpendirian, ulet, ramah. Seorang pemuda tampan bernama Yusuf merupakan
seorang yang ramah, baik, pandai, peduli, berjiwa nasionalis.Ayah Tuti dan
Maria Raden Wiriatmaja, berwatak baik, pengertian, bijaksana.
Paman Tuti
dan Maria bernama Parta Diharja. Ia mempunyai watak ramah, bijaksana. Sedangkan
Supomo berwatak baik hati, berbudiluhur. dari segi bahasanya, bahasa yang
digunakan dalam mengungkapkan isi adalah bahasa Melayu. Latar cerita dalam
novel ini di masa dimana budaya ketimuran dan budaya belanda masih kental
sekali. Secara tersirat maupun tersurat amanat yang disampaikan dalam novel ini
adalah untuk menyelesaikan suatu masalah harus diselesaikan dengan musyawarah
dan jangan memaksakan kehendak.
kelebihan
dari buku ini adalah secara keseluruhan isi
cerita ini sangatlah bagus. Alur yang ditulis dimulai dari pengenalan, klimaks,
antiklimaks, hingga penyelesaian yang sangat dramatis. Novel ini bisa membawa
para pembaca seolah-olah menjadi audiens dalam sebuah drama percintaan yang
mengharukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap insan pasti akan
mempunyai pasangan hidup jika Sang Penguasa telah menakdirkannya yang mana ia
akan menjadi pendamping hidup kita dikala kita suka maupun duka.
dari segi
bahasanya, bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan isi adalah bahasa Melayu. Latar
cerita dalam novel ini di masa dimana budaya ketimuran dan budaya belanda masih
kental sekali. Secara tersirat maupun tersurat amanat yang disampaikan dalam
novel ini adalah untuk menyelesaikan suatu masalah harus diselesaikan dengan
musyawarah dan jangan memaksakan kehendak.
Dari segi etika, novel ini banyak berisi nilai etika atau moral
yang sangat mendidik bagi para kaula muda pada saat sekarang ini.
Selain itu juga memiliki nilai-nilai sosial dalam
kehidupan serta prinsip hidup yang mesti berpikir matang sebelum bertindak dan
tidak mudah terbawa arus oleh situasi di sekitar kita.
Nilai budaya yang terkandung adalah sebaiknya dalam menentukan sesuatu haruslah dengan keinginan hati jangan karena ada paksaan dari orang lain.
Nilai budaya yang terkandung adalah sebaiknya dalam menentukan sesuatu haruslah dengan keinginan hati jangan karena ada paksaan dari orang lain.
Kekurangan dari buku ini menurut saya hanya terletak pada cover dan pemilihan kata-kata yang ada di dalam naskah ini. Cover-nya tidak begitu menarik, warnanya yang tidak bervariasi dan bahasanya sangat tinggi dan cukup memusingkan pembaca.
Tatanan bahasa yang dipakai adalah Melayu sehingga kurang bisa dipahami para pembaca. Tatanan kalimatnya tidak efektif sehingga muncul berbagai kalimat ambigu yang menimbulkan salah pengertian pembacanya. Pemakaian bahasa yang tidak komunikatif dalam dialog antar tokoh, kurang menggugah para pembaca untuk melanjutkan ceritanya hingga akhir.
Harapan dari buku ini agar kata-katanya bisa direvisi ulang menurut tatanan bahasa yang sesuai dengan EYD terbaru saat ini. Sehingga menarik minat para pembaca khususnya para remaja dengan isi novel Layar Terkembang. Selain itu secara tidak langsung dapat meningkatkan minat para generasi muda terhadap kesusastraan lama Indonesia yang menjadi perintis sastra modern Indonesia sekarang.
Setelah membaca buku saya mendapatkan banyak pengetahuan baru. Buku ini memberikan banyak inspirasi dan membuka mata kita, khususnya saya sendiri tentang kegigihan dalam berjuang yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar